Senin, 06 April 2015

Hari Nelayan Nasional 2015, Sudah sejahterahkah nelayan kita?

“Nenek moyangku orang pelaut, Gemar mengarung luas samudera, Menerjang ombak tiada takut Menempuh badai sudah biasa Angin bertiup layar terkembang Ombak berdebur di tepi pantai Pemuda berani bangkit sekarang Ke laut kita beramai-ramai”

Ya, masih terngiang di telinga kita sebuah nyanyian anak-anak yang berjudul “Nenek Moyangku Orang Pelaut”, lagu yang sering diperdengarkan sejak kita masih berada di bangku sekolah dasar. Namun seiring perkembangan zaman, lagu lawas ini mulai tergerus oleh lagu-lagu cinta, lagu yang seharusnya bergelimang imajinasi bocah diganti dengan sebuah lagu yang bertebaran puja-puji roman picisan. Sangat miris!

Tidak terasa kini kita telah masuk bulan april tahun 2015, apakah sahabat tahu bahwa tanggal 6 april nanti diperingati sebagai Hari Nelayan Nasional?.

Hari Nelayan, begitulah istilah yang sering disebut masyarakat akan peringatan syukuran nelayan di Palabuhanratu. Ritual ini telah ada sejak puluhan tahun yang lalu, konon katanya dipercaya sebagai ritual untuk “mempersembahkan sesajen kepada penguasa laut kidul”. Di tempat itu pula diadakan berbagai aktivitas yang meriah seperti pesta rakyat, ritual adat, lomba-lomba dan sebagainya.

Nah itulah sedikit sejarah singkat tentang peringatan hari nelayan nasional. Dalam rangka peringatan hari nelayan tanggal 6 april, yang menjadi persoalan klasik yang hingga saat ini belum terselesaikan adalah masalah “kesejahteraan nelayan”.
Sudah sejahtera kah nelayan kita?

Menurut sebuah data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 sekitar 3,2% untuk raw material, dan 8% raw material dan produk olahan dan sekitar 45% nelayan masih tergolong miskin.

Penyebab hitung-hitungan angka statistik diatas tak terlepas dari berbagai macam aspek permasalahan yang terjadi di bidang kelautan. Salah satu permasalahannya adalah Regulasi tentang aturan perundang-undangan yang mengenai bidang kelautan, baik yang telah diberlakukan (ius constitutum) maupun aturan perundang-undangan yang masih sekadar dicita-citakan (ius constituendum).

Hakikat perundang-undangan adalah memperlihatkan sebuah karakteristik suatu norma bagi kehidupan sosial yang lebih matang, khususnya dalam hal kejelasan dan kepastiannya. Tentunya ketika dikonkritkan kehidupan nelayan, hendaknya mendapatkan perhatian lebih dari Negara untuk sebuah kesejahteraan sosial yang lebih baik.

Sebuah aturan perundang-undangan yang tengah di berlakukan (ius constitutum) oleh Negara mempunyai banyak kelemahan. Terkadang pada saat perancangan, undang-undang tersebut di yakini sudah sangat bagus, namun pada saat penerapan ternyata banyak menimbulkan masalah.

Sebuah contoh terbitnya UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang akhirnya diubah ke UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, yang dimana UU sebelumnya tidak mampu mengantisipasi perkembangan teknologi serta perkembangan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan.

Ditambah lagi Negara kita masih sedang menggodok sebuah regulasi (ius constituendum) yang kuat dan bisa memayungi seluruh sektor kelautan. Saat ini ada sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sedang digodok di DPR-RI. RUU tersebut mengatur tentang Kelautan, yang diberi nama RUU Kelautan.

RUU Kelautan ini masuk dalam 70 RUU yang telah ditetapkan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2013. Sebuah RUU yang mesti menunggu selama hampir 6 tahun untuk masuk dalam Prolegnas.

RUU Kelautan nantinya di harapakan sebagai suatu regulasi yang kuat dan bisa memayungi seluruh sektor kelautan, apakah itu kebijakan kegiatan negara di bidang politik, sosial budaya, ekonomi maupun pertahanan kemanan laut. Tujuannya tak lain demi mengoptimalkan potensi laut guna kepentingan Nasional Bangsa ini.

Sebagai Negara Kepulauan terbesar di Dunia (the largest archipelagic country in the world), Indonesia mempunyai sebuah potensi yang sangat mumpuni dalam bidang kelautan. Sangat beralasan jika Negara ini menjadikan laut sebagai penopang sumber penghasilan ekonomi.

Secara sosial ekonomi sebanyak ± 140 juta jiwa (60%) hidup di wilayah pesisir pantai. Negara Indonesia mestinya bisa membuat sebuah lapangan pekerjaan besar-besaran di wilayah pesisir apalagi didukung oleh sebagian besar kota provinsi dan kabupaten yang juga berada di kawasan pesisir pantai.

Dari 25 Negara yang menempati peringkat atas sebagai Negara penghasil ikan. Indonesia berada di urutan ke empat setelah China, Peru dan Amerika Serikat. (sumber; FAO, Marine and Inland Capture Fisheries: top ten producer countries in 2006).

Sangat memperihatinkan, identitas sebagai Negara Kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada ternyata tak mampu mengelola potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki. Padahal potensi kelautan ini sangatlah menunjang kegiatan pembangunan pada masa yang akan datang, selain itu kesejahteraan Nelayan juga ikut terdorong dengan adanya kepedulian dari Negara untuk sepenuh hati mengelola potensi sumber daya laut tersebut.

Mudah-mudahan dengan momentum peringatan Hari Nelayan Nasional nanti, RUU Kelautan akan di sahkan menjadi UU Kelautan. Sehingga menjadi titik balik Pemerintah dalam mengembalikan Kejayaan Bahari Bangsa. (sumber : kompasiana.com)

Ya semoga saja kedepannya nelayan kita sang pejuang protein bangsa bisa hidup lebih sejahtera lagi.


KMP – Sedekat Sahabat Sehangat Keluarga.
Salam Bahari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar