“Nenek moyangku orang pelaut, Gemar mengarung luas
samudera, Menerjang ombak tiada takut Menempuh badai sudah
biasa Angin bertiup layar terkembang Ombak berdebur di tepi
pantai Pemuda berani bangkit sekarang Ke laut kita beramai-ramai”
Ya, masih terngiang di telinga kita sebuah nyanyian anak-anak
yang berjudul “Nenek Moyangku Orang Pelaut”, lagu yang sering diperdengarkan
sejak kita masih berada di bangku sekolah dasar. Namun seiring perkembangan
zaman, lagu lawas ini mulai tergerus oleh lagu-lagu cinta, lagu yang seharusnya
bergelimang imajinasi bocah diganti dengan sebuah lagu yang bertebaran
puja-puji roman picisan. Sangat miris!
Tidak terasa kini kita telah masuk bulan april tahun 2015,
apakah sahabat tahu bahwa tanggal 6 april nanti diperingati sebagai Hari
Nelayan Nasional?.
Hari Nelayan, begitulah istilah yang sering disebut
masyarakat akan peringatan syukuran nelayan di Palabuhanratu. Ritual ini telah
ada sejak puluhan tahun yang lalu, konon katanya dipercaya sebagai ritual untuk
“mempersembahkan sesajen kepada penguasa laut kidul”. Di tempat itu pula
diadakan berbagai aktivitas yang meriah seperti pesta rakyat, ritual adat,
lomba-lomba dan sebagainya.
Nah itulah sedikit sejarah singkat tentang peringatan hari
nelayan nasional. Dalam rangka peringatan hari nelayan tanggal 6 april, yang
menjadi persoalan klasik yang hingga saat ini belum terselesaikan adalah
masalah “kesejahteraan nelayan”.
Sudah sejahtera kah nelayan kita?
Menurut sebuah data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) dan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 sekitar 3,2% untuk raw
material, dan 8% raw material dan produk olahan dan sekitar 45% nelayan masih
tergolong miskin.
Penyebab hitung-hitungan angka statistik diatas tak terlepas
dari berbagai macam aspek permasalahan yang terjadi di bidang kelautan. Salah
satu permasalahannya adalah Regulasi tentang aturan perundang-undangan yang
mengenai bidang kelautan, baik yang telah diberlakukan (ius constitutum) maupun
aturan perundang-undangan yang masih sekadar dicita-citakan (ius
constituendum).
Hakikat perundang-undangan adalah memperlihatkan sebuah
karakteristik suatu norma bagi kehidupan sosial yang lebih matang, khususnya
dalam hal kejelasan dan kepastiannya. Tentunya ketika dikonkritkan kehidupan
nelayan, hendaknya mendapatkan perhatian lebih dari Negara untuk sebuah
kesejahteraan sosial yang lebih baik.
Sebuah aturan perundang-undangan yang tengah di berlakukan
(ius constitutum) oleh Negara mempunyai banyak kelemahan. Terkadang pada saat
perancangan, undang-undang tersebut di yakini sudah sangat bagus, namun pada
saat penerapan ternyata banyak menimbulkan masalah.
Sebuah contoh terbitnya UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan yang akhirnya diubah ke UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, yang
dimana UU sebelumnya tidak mampu mengantisipasi perkembangan teknologi serta
perkembangan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi
sumber daya ikan.
Ditambah lagi Negara kita masih sedang menggodok sebuah
regulasi (ius constituendum) yang kuat dan bisa memayungi seluruh sektor
kelautan. Saat ini ada sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sedang digodok
di DPR-RI. RUU tersebut mengatur tentang Kelautan, yang diberi nama RUU
Kelautan.
RUU Kelautan ini masuk dalam 70 RUU yang telah ditetapkan
sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2013. Sebuah RUU yang
mesti menunggu selama hampir 6 tahun untuk masuk dalam Prolegnas.
RUU Kelautan nantinya di harapakan sebagai suatu regulasi
yang kuat dan bisa memayungi seluruh sektor kelautan, apakah itu kebijakan
kegiatan negara di bidang politik, sosial budaya, ekonomi maupun pertahanan
kemanan laut. Tujuannya tak lain demi mengoptimalkan potensi laut guna
kepentingan Nasional Bangsa ini.
Sebagai Negara Kepulauan terbesar di Dunia (the largest
archipelagic country in the world), Indonesia mempunyai sebuah potensi yang
sangat mumpuni dalam bidang kelautan. Sangat beralasan jika Negara ini
menjadikan laut sebagai penopang sumber penghasilan ekonomi.
Secara sosial ekonomi sebanyak ± 140 juta jiwa (60%) hidup di
wilayah pesisir pantai. Negara Indonesia mestinya bisa membuat sebuah lapangan
pekerjaan besar-besaran di wilayah pesisir apalagi didukung oleh sebagian besar
kota provinsi dan kabupaten yang juga berada di kawasan pesisir pantai.
Dari 25 Negara yang menempati peringkat atas sebagai Negara
penghasil ikan. Indonesia berada di urutan ke empat setelah China, Peru dan
Amerika Serikat. (sumber; FAO, Marine and Inland Capture Fisheries: top ten
producer countries in 2006).
Sangat memperihatinkan, identitas sebagai Negara Kepulauan
yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada ternyata tak mampu
mengelola potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki. Padahal potensi kelautan
ini sangatlah menunjang kegiatan pembangunan pada masa yang akan datang, selain
itu kesejahteraan Nelayan juga ikut terdorong dengan adanya kepedulian dari
Negara untuk sepenuh hati mengelola potensi sumber daya laut tersebut.
Mudah-mudahan dengan momentum peringatan Hari Nelayan
Nasional nanti, RUU Kelautan akan di sahkan menjadi UU Kelautan. Sehingga
menjadi titik balik Pemerintah dalam mengembalikan Kejayaan Bahari Bangsa. (sumber
: kompasiana.com)
Ya semoga saja kedepannya nelayan kita sang pejuang protein
bangsa bisa hidup lebih sejahtera lagi.
KMP –
Sedekat Sahabat Sehangat Keluarga.
Salam Bahari.
Salam Bahari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar